Senin, 27 Maret 2017

CINTA KASIH AYAHMU SEBESAR CINTA IBUMU... ANAKKU!!!

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim

Ayah di dalam kamar, beberapa kali batuk².

"Cinta ayahmu kepadamu luar biasa, tetapi lebih banyak disimpan dalam hati karena kau perempuan" kata ibu.
Aku mendengarkan ibu dengan heran.

"Ketika kau melanjutkan kuliah ke Jakarta dan aku bersama ayahmu mengantarmu ke stasiun, kau dan aku saling berpelukan.
Ayahmu hanya memandang.
Dia bilang juga ingin memelukmu, tapi sebagai laki² tak lazim memeluk anak perempuan di depan banyak orang, maka dia hanya menjabat tanganmu, lalu berdiri sampai kereta itu menghilang" kata ibu.

"Ibu memang sering menelponmu. Tahukah kau, itu selalu ayahmu yang menyuruh dan mengingatkan.
Mengapa bukan ayahmu sendiri yang menelpon ?"

Dia bilang,  "Suaraku tak selembut suaramu, anak kita harus menerima yang terbaik."

"Ketika kamu diwisuda, kami duduk di belakang.
Ketika kau ke panggung dan kuncir di togamu dipindahkan rektor, ayahmu mengajak ibu berdiri agar dapat melihatmu lebih jelas."

"Alangkah cantiknya anak kita ya bu," Kata ayahmu sambil menyeka air matanya.

Mendengar cerita ibu di ruang tamu, dadaku sesak, mungkin karena haru atau rasa bersalah.

Jujur saja selama ini kepada ibu aku lebih dekat dan perhatianku lebih besar.

Sekarang tergambar kembali kasih sayang ayah kepadaku.

Aku teringat ketika naik kelas 2 SMP aku minta dibelikan tas.

Ibu bilang ayah belum punya uang.

Tetapi sore itu ayah pulang membawa tas yang kuminta.

Ibu heran. "Tidak jadi ke dokter?" tanya ibu.

_"Kapan² saja. Nanti minum jahe hangat, batuk akan hilang sendiri"_kata ayah.

Rupanya biaya ke dokter, uangnya untuk membeli tasku, membeli kegembiraan hatiku, dengan mengorbankan kesehatannya.

"Dulu setelah prosesi akad nikahmu selesai, ayahmu bergegas masuk kamar.
Kau tahu apa yang dilakukan?" tanya ibu.

Aku menggeleng.
"Ayahmu sujud syukur sambil berdoa untukmu.Air matanya membasahi sajadah.
Dia mohon agar Allah melimpahkan kebahagiaan dalam hidupmu.
Sekiranya kau dilimpahi kenikmatan, dia mohon tidak membuatmu lupa zikir kepada-Nya.
Sekiranya diberi cobaan, mohon cobaan itu adalah cara Tuhan meningkatkan kualitas hidupmu.
Lama sekali dia sujud sambil terisak.
Ibu mengingatkan banyak tamu menunggu.

Dia lalu keluar dengan senyuman tanpa ada bekas air di pelupuk matanya."

Mendengar semua itu, air mataku tak tertahan lagi, tumpah membasahi pipi.

Dari kamar terdengar ayah batuk lagi. Aku bergegas menemui ayah sambil membersihkan air mata.

"Kau habis menangis?"
tanya ayah sambil menatapku melihat sisa air di mataku.

_" Oh, tidak ayah !"_aku tertawa renyah.

Ku pijit betisnya lalu pundaknya.

_"Pijitanmu enak sekali seperti ibumu,"_katanya sambil tersenyum.

Aku tahu, meski sakit, ayah tetap ingin menyenangkan hatiku dengan pujian.

Itulah pertama kali aku memijit ayah. Aku melihat betapa gembira wajah ayah. Aku terharu.

"Besok suamiku menyusulku, ambil cuti seminggu seperti aku._
Nanti sore ayah kuantar ke dokter," kataku.
Ayah menolak.

"Ini hanya batuk ringan, nanti akan sembuh sendiri."

"Harus ke dokter, aku pulang memang ingin membawa ayah ke dokter, mohon jangan tolak keinginanku," kataku berbohong.

Ayah terdiam. Sebenarnya aku pulang hanya ingin berlibur, bukan ke dokter.

Tapi aku berbohong agar ayah mau kubawa ke dokter.

Aku bawa ayah ke dokter spesialis.

Ayah protes lagi, dia minta dokter umum yg lebih murah. Aku hanya tersenyum.

Hasil pemeriksaan ayah harus masuk rumah sakit hari itu juga.

Aku bawa ke rumah sakit terbaik di kotaku.

Ibu bertanya setengah protes. "Dari mana biayanya?"

Aku tersenyum.
"Aku yang menanggung seluruhnya Bu.
Sejak muda ayah sudah bekerja keras mencari uang untukku.
Kini saatnya aku mencari uang untuk ayah.
Aku bisa! Aku bisa bu!"

Kepada dokter aku berbisik, "Tolong lakukan yang terbaik untuk ayahku Dok, jangan pertimbangkan biaya" kataku.
Dokter tersenyum.

Ketika ayah sudah di rumah dan aku pamit pulang, aku tidak menyalami, tetapi merangkul dengan erat untuk membayar keinginannya di stasiun dulu.
_"Seringlah ayah menelponku, jangan hanya ibu,"_kataku.
Ibu mengedipkan mata sambil tersenyum.

Dalam perjalanan pulang, aku berfikir, berapa banyak anak yang tidak paham dengan ayahnya sendiri seperti aku.

Selama ini aku tidak paham betapa besar cinta ayah kepadaku.

Hari² berikutnya aku selalu berdoa :

"Rabbighfir lii wa li waalidayya warhamhuma kama rabbayaani shagiira."

Namun kini dengan perasaan berbeda.

Terbayang ketika ayah bersujud pada hari pernikahanku sampai sajadahnya basah dengan air matanya.

-------------------

NB.
Moga menjadi contoh bagi para anak, betapa besarnya cinta kasih seorang Ayah....
Tidaklah jauh berbeda dengan cinta kasih seorang Ibu...

Wassalam....

Pola Pikir Terbalik

"Orang miskin:
Pak tolong dibuatkan parcel yg bagus dan mahal, karena itu akan  saya hadiahkan utk boss saya"

"Orang kaya raya:
Pak tolong dibuatkan parcel yg paling murah krn itu akan saya hadiahkan utk karyawan-karyawan bawahan saya".

Pertanyaan yang menariknya adalah: Siapa yg lebih miskin dan siapa yg lebih kaya dan siapa yg lebih baik?
Saya rasa jawabannya tdk usah dibahas lagi.

Begitulah kita sebagai manusia terkadang berpikirnya sering terbalik-balik.

Astaghfirullah, kepada orang yg seharusnya pantas disantuni, justru kita jadi sangat pelit.

Kepada orang yg berkelimpahan harta, kita justru jadi sangat royal.

Kepada orang lemah/bawah yg seharusnya kita berlemah lembut kpdnya, justru kpdnya kita jadi sangat kasar dan jahat dlm ucap maupun sikap.

Kepada orang yg sepantasnya kita tegur karna kesombongan dan kejahatannya, justru kita jadi sangat hormat.

Kepada orang yg setiap hari makan mewah, kita mengundangnya dlm pesta dgn suguhan makanan yg 'wah' dan melimpah.

Tetapi kepada orang yg hari ini bisa makan dan besok bisa jadi dia lapar, justru kita memberinya makanan sisa yg kita sendiri sdh tidak mau.

Padahal Sabda Nabi SAW: "Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah yg mana orang yg tdk membutuhkannya diundang, sedang orang yg menginginkannya tdk diundang"

Begitulah kebanyakan manusia. Sering berpikir terbalik-balik

Saya jadi teringat dengan pesan hati:
"Bila mau mengukur kebaikan seseorang, lihatlah cara dia memperlakukan orang-orang di bawahnya atau orang-orang yg tdk memberi keuntungan apapun kpdnya"

Mudah-mudahan kita bukan termasuk orang yg "terbalik", dan selalu memperbaiki untuk menjadi umat yang terbaik.
Aamiin..
Barokallahu fiikum.....

HANYA SEKEDAR JADI CERMIN UTK APA YANG SELAMA INI KITA LAKUKAN

Rabu, 22 Maret 2017

KETIKA PINTU SYURGA MASIH TERBUKA DIRUMAHMU



*****KETIKA PINTU SYURGA MASIH TERBUKA DIRUMAHMU, SEGERALA RAIH , JANGAN SAMPAI TERTUTUP DAN HILANG SIA-SIA ****
Saya takziyah dan mendatangi seorang kawan atas kematian ibunya yang selalu dijaganya selama ini, dia berbisik kepada saya sewaktu bersalaman,
"Telah *HILANG PINTU SYURGA* di RUMAH saya..."
Saya hanya mengucapkan inna lillahi wainna ilaihi rojiun dan memberikan nasehat untuk mengikhlaskan dan bersabar.
Apa maksud ucapannya *PINTU SYURGA di RUMAH nya telah HILANG ????*
Ini adalah satu PERKATAAN orang yang ber ILMU, orang yang MENGETAHUI......
Apa yang disebut oleh kawan saya ini pernah disebut oleh sorang tabi’in *Iyas bin Mu’awiyah,* yang menangis tersedu-sedu ketika meninggal salah seorang dari orang tuanya.
Ketika ditanya pada beliau,
“Mengapa engkau menangis sedemikian rupa ?"
Maka beliau menjawab;
*“aku tidak MENANGIS karena KEMATIAN,* sebab yang *HIDUP pasti akan MATI....*
Akan tetapi yang membuat aku menangis karena dahulu aku memiliki *DUA PINTU ke SYURGA*... ,
Tapi hari ini *TERTUTUP*lah *SATU PINTU* dan tidak akan di buka lagi sampai hari Kiamat.
Aku memohon kepada *ALLAH TA'ALA* agar aku bisa menjaga *pintu SYURGA yang keDUA.*
Apa yang disebut oleh Iyas ini adalah berkaitan dengan sabda *Rasulullah* dari *Abu Darda RA.*
*Rasulullah* bersabda:
الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ
*ORANG TUA* ( ibu & ayah) adalah *PINTU SYURGA* yang paling tengah .
Kamu bisa *MENSIA-SIA kan* pintu itu atau kamu *MENJAGA nya* . (HR. Ahmad 28276, Turmudzi 2022, Ibn Majah 3794, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Jadi kedua AYAH DAN BUNDA* kita adalah ibarat *PINTU SYURGA* bagi setiap *ANAK,*
dengan maksud jika kita *BERKHIDMAT dan BERBUAT BAIK* kpd *KEDUA* nya, maka *ALLAH* akan beri ganjaran *SYURGA, tapi siapa yg *MENSIA-SIA kan PELUANG* ini, akan *TERLEPAS lah PELUANGNYA* menuju *SYURGA.*
Bahkan mereka itu *CELAKA*
*Rasulullah* bersabda :
*CELAKA, CELAKA, CELAKA.*
Lalu ditanyakan kepada *Baginda,* *SIAPA* (yang celaka)
wahai *Rasulullah ??*.
Maka *Baginda* bersabda :
*"SIAPA* saja yang menjumpai *KEDUA ORANG-TUA*nya, baik *SALAH SATU atau KEDUA-DUA*nya *di KALA mereka LANJUT USIA,* akan *TETAPI* (perjumpaan tersebut) tidak memasukkannya ke *syurga* .
*(HR. Muslim)*
saudaraku
Saya hendak mengajak kalian semua agar *TIDAK MENSIA-SIAkan* peluang *PINTU SYURGA* yang ada di *RUMAH kamu*, *LEBIH- LEBIH* lagi jika *USIA KEDUA ORANG TUA* telah lanjut, *MELANGKAH* lah ke *PINTU SURGA* itu dengan cara *BERBUAT BAIK DAN BERBAKTI * kepada *KEDUAnya* .
Sebelum kita *meninjau KELUAR untuk mencari SYURGA...*
JANGAN *abaikan PINTU SYURGA* yg dilekatkan dan Allah karuniakan melalui *IBU BAPA* dirumah kita .
Dalam hidup ini, *ALLAH* buka banyak kesempatan untuk dapat menuju *SYURGA,* *SADARLAH* untuk merebutnya, jangan sampai *LALAI hingga kita TIDAK BISA meREBUT*nya.
Kemudian *ALLAH* ambil balik *SATU demi SATU* peluang ini,
Maka *TERTUTUP lah SATU demi SATU* kesempatan emas untuk ke *SYURGA* melalui pintu *KETAATAN* kepada *AYAH DAN BUNDA* kita.
*MEREKA yang LALAI dengan DUNIA*nya tidak akan terasa apa-apa dengan *TERTUTUP nya PINTU SYURGA* untuknya, tetapi mereka yang mengetahui, seperti SAHABAT saya ini, akan melihat *WAFAT nya AYAH atau BUNDANYA * bagai *TERTUTUP* nya *PINTU SYURGA di RUMAH nya .*
Berbaktilah pada
*AYAH DAN BUNDA DAN CARI RIDHO MEREKA ,* sebab
*PINTU SYURGA MASIH ADA DIRUMAH KITA*

Kisah anak berbakti kepada Ibunya yang Gila

Salah seorang dokter bercerita tentang kisah sangat menyentuh yang pernah dialaminya…

Hingga aku tidak dapat menahan diri saat mendengarnya…

Aku pun menangis karena tersentuh kisah tersebut…

Dokter itu memulai ceritanya dengan mengatakan :

“Suatu hari, masuklah seorang wanita lanjut usia ke ruang praktek saya di sebuah Rumah Sakit.

Wanita itu ditemani seorang pemuda yang usianya sekitar 30 tahun.

Saya perhatikan pemuda itu memberikan perhatian yang lebih kepada wanita tersebut dengan memegang tangannya, memperbaiki pakaiannya, dan memberikan makanan serta minuman padanya…

Setelah saya menanyainya seputar masalah kesehatan dan memintanya untuk diperiksa, saya bertanya pada pemuda itu tentang kondisi akalnya, karena saya dapati bahwa perilaku dan jawaban wanita tersebut tidak sesuai dengan pertanyaan yang ku ajukan.

Pemuda itu menjawab :

“Dia ibuku, dan memiliki keterbelakangan mental sejak aku lahir”

Keingintahuanku mendorongku untuk bertanya lagi : “Siapa yang merawatnya?”

Ia menjawab : “Aku”

Aku bertanya lagi : “Lalu siapa yang memandikan dan mencuci pakaiannya?”

Ia menjawab : “Aku suruh ia masuk ke kamar mandi dan membawakan baju untuknya serta menantinya hingga ia selesai.

Aku yang melipat dan menyusun bajunya di lemari. Aku masukkan pakaiannya yang kotor ke dalam mesin cuci dan membelikannya pakaian yang dibutuhkannya”

Aku bertanya : “Mengapa engkau tidak mencarikan untuknya pembantu?”

Ia menjawab : “Karena ibuku tidak bisa melakukan apa-apa dan seperti anak kecil, aku khawatir pembantu tidak memperhatikannya dengan baik dan tidak dapat memahaminya, sementara aku sangat paham dengan ibuku”

Aku terperangah dengan jawabannya dan baktinya yang begitu besar..

Aku pun bertanya : “Apakah engkau sudah beristri?”

Ia menjawab : “Alhamdulillah, aku sudah beristri dan punya beberapa anak”

Aku berkomentar : “Kalau begitu berarti istrimu juga ikut merawat ibumu?”

Ia menjawab : “Istriku membantu semampunya, dia yang memasak dan menyuguhkannya kepada ibuku.

Aku telah mendatangkan pembantu untuk istriku agar dapat membantu pekerjaannya.

Akan tetapi aku berusaha selalu untuk makan bersama ibuku supaya dapat mengontrol kadar gulanya”

Aku Tanya : “Memangnya ibumu juga terkena penyakit Gula?”

Ia menjawab : “Ya, (tapi tetap saja) Alhamdulillah atas segalanya”

Aku semakin takjub dengan pemuda ini dan aku berusaha menahan air mataku…

Aku mencuri pandang pada kuku tangan wanita itu, dan aku dapati kukunya pendek dan bersih.

Aku bertanya lagi : “Siapa yang memotong kuku-kukunya?”

Ia menjawab : “Aku. Dokter, ibuku tidak dapat melakukan apa-apa”

Tiba-tiba sang ibu memandang putranya dan bertanya seperti anak kecil : “Kapan engkau akan membelikan untukku kentang?”

Ia menjawab : “Tenanglah ibu, sekarang kita akan pergi ke kedai”

Ibunya meloncat-loncat karena kegirangan dan berkata : “Sekarang…sekarang!”

Pemuda itu menoleh kepadaku dan berkata : “Demi Allah, kebahagiaanku melihat ibuku gembira lebih besar dari kebahagiaanku melihat anak-anakku gembira…”

Aku sangat tersentuh dengan kata-katanya…dan aku pun pura-pura melihat ke lembaran data ibunya.

Lalu aku bertanya lagi : “Apakah Anda punya saudara?”

Ia menjawab : “Aku putranya semata wayang, karena ayahku menceraikannya sebulan setelah pernikahan mereka”

Aku bertanya : “Jadi Anda dirawat ayah?”

Ia menjawab : “Tidak, tapi nenek yang merawatku dan ibuku. Nenek telah meninggal – semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmatinya – saat aku berusia 10 tahun”

Aku bertanya : “Apakah ibumu merawatmu saat Anda sakit, atau ingatkah Anda bahwa ibu pernah memperhatikan Anda?

Atau dia ikut bahagia atas kebahagiaan Anda, atau sedih karena kesedihan Anda?”

Ia menjawab : “Dokter…sejak aku lahir ibu tidak mengerti apa-apa…kasihan dia…dan aku sudah merawatnya sejak usiaku 10 tahun”

Aku pun menuliskan resep serta menjelaskannya…

Ia memegang tangan ibunya dan berkata : “Mari kita ke kedai..”

Ibunya menjawab : “Tidak, aku sekarang mau ke Makkah saja!”

Aku heran mendengar ucapan ibu tersebut…

Maka aku bertanya padanya : “Mengapa ibu ingin pergi ke Makkah?”

Ibu itu menjawab dengan girang : “Agar aku bisa naik pesawat!”

Aku pun bertanya pada putranya : “Apakah Anda akan benar-benar membawanya ke Makkah?”

Ia menjawab : “Tentu…aku akan mengusahakan berangkat kesana akhir pekan ini”

Aku katakan pada pemuda itu : “Tidak ada kewajiban umrah bagi ibu Anda…lalu mengapa Anda membawanya ke Makkah?”

Ia menjawab : “Mungkin saja kebahagiaan yang ia rasakan saat aku membawanya ke Makkah akan membuat pahalaku lebih besar daripada aku pergi umrah tanpa membawanya”.

Lalu pemuda dan ibunya itu meninggalkan tempat praktekku.

Aku pun segera meminta pada perawat agar keluar dari ruanganku dengan alasan aku ingin istirahat…

Padahal sebenarnya aku tidak tahan lagi menahan tangis haru…

Aku pun menangis sejadi-jadinya menumpahkan seluruh yang ada dalam hatiku…

Aku berkata dalam diriku : “Begitu berbaktinya pemuda itu, padahal ibunya tidak pernah menjadi ibu sepenuhnya…

Ia hanya mengandung dan melahirkan pemuda itu…

Ibunya tidak pernah merawatnya…

Tidak pernah mendekap dan membelainya penuh kasih sayang…

Tidak pernah menyuapinya ketika masih kecil…

Tidak pernah begadang malam…

Tidak pernah mengajarinya…

Tidak pernah sedih karenanya…

Tidak pernah menangis untuknya…

Tidak pernah tertawa melihat kelucuannya…

Tidak pernah terganggu tidurnya disebabkan khawatir pada putranya…

Tidak pernah….dan tidak pernah…!

Walaupun demikian…pemuda itu berbakti sepenuhnya pada sang ibu”.

Apakah kita akan berbakti pada ibu-ibu kita yang kondisinya sehat….

seperti bakti pemuda itu pada ibunya yang memiliki keterbelakangan mental???.

Rabu, 15 Maret 2017

SUKSESNYA SEBUAH DAKWAH BUKAN DI UKUR DENGAN BANYAKNYA PENGIKUT



Apabila suksesnya sebuah dakwah dinilai dengan banyaknya jumlah manusia yang bisa menerimanya. Maka bisa diartikan para Nabi gagal dalam menyampaikan risalahnya. Bukankah yang mengikuti seruan para Rasul lebih sedikit dibanding yang menolaknya ?. Bahkan ada Nabi yang sama sekali tidak memiliki pengikut.
Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis. “Tatkala Nabi diisra’kan Nabi melewati beberapa Nabi yang bersama mereka pengikut yang banyak, beberapa Nabi lainnya sedikit jumlah pengikutnya dan beberapa nabi lagi tidak mempunyai satu orang pengikut pun”. (Imam Tirmidzi ).
Nilai pahala dari sebuah usaha dakwah, dilihat bukan dari jumlah manusia yang bisa dijaring untuk mendengarkan seruannya. Akan tetapi dari kesungguhan dan kesabaran menghadapi berbagai ujian yang dihadapinya.
الأَجْرُ يَقَعُ بِمُجَرَّدِ الدَّعْوَةِ وَلَا يُتَوَقَّفُ عَلَى الاِسْتِجَابَةِ
“Pahala didapat karena melaksanakan dakwah, bukan tergantung kepada penerima’annya”
Nabi Nuh ‘alaihissalam yang mendakwahi kaumnya siang dan malam hingga memakan waktu beratus-ratus tahun lamanya, akan tetapi yang mengikuti seruannya hanyalah sedikit sekali. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an,
– Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلا خَمْسِينَ عَامًا
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun . .” (QS. Al Ankabut: 14).
– Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلا قَلِيلٌ
”. . Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit”. (QS. Huud: 40).
Kalaulah kesuksesan dakwah diukur dari jumlah orang yang mengikuti seruannya, maka bisa dikatakan Nabi Nuh telah gagal mengemban misinya, namun pada hakekatnya tidaklah demikian, karena para Nabi dan Rasul merupakan hamba pilihan yang mendapatkan tempat mulia di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itulah Allah Ta’ala memotivasi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam agar berdakwah secara optimal, tidak menakar kesuksesannya melalui jumlah yang didapat. Allah tegaskan bahwa kewajiban utusan Allah hanyalah menyampaikan risalah, tidak lebih dari itu.
Allah Ta’ala berfirman :
فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ
”Maka tidak ada kewajiban atas para Rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An-nahl : 35).
• Hidayah milik Allah Ta’ala
Perkara hidayah, sesungguhnya itu semua adalah urusan Allah Ta’ala untuk memberikannya.
Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash: 56).
Maka barangsiapa yang memahami kaidah ini, seorang da’i akan berdakwah tanpa beban, tidak kecewa karena sedikitnya orang yang bisa menerimanya, walaupun siang malam dia menyeru manusia.
Allah tidak mewajibkan untuk menjadikan manusia mendapatkan petunjuk, karena hidayah milik Allah yang akan diberikan kepada siapa yang dikehendakinya.
Allah Ta’ala berfirman :
لَّيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَن يَشَآءُ
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya”. (Al-Baqarah: 272).
Oleh karena itulah tidak sepantasnya seorang da’i mengeluh, gundah gulana karena kenyata’an melihat manusia hanya sedikit yang bisa menerima seruannya.
Allah Ta’ala berfirman :
فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ
“Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka.” (QS. Faathir: 8).
Tidak layak seorang da’i menimbang-nimbang dakwahnya antara terus berdakwah atau menghentikannya, karena melihat sedikitnya respon dari manusia.
با رك الله فيكمTop of FormBottom of Form