BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH FILSAFAT PRAGMATISME
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme.
Pragma berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan
pengertian isme sama dengan pengertian isme-isme yang lainnya yang merujuk pada
cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan demikian filsafat pragmatisme
beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan. Aliran ini pertama kali
tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20. Aliran ini melahirkan
beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles Sanders Pierce (1839-1914),
William James (1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup
menonjol bernama George Herbert Mead (1863-1931).[1]
William James mengatakan bahwa secara ringkas prgamatisme
adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Charles S. Pierce-lah yang
membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “Tentukan apa akibatnya, apakah
dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat pengertian tentang
objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep
objek tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep,
kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut.
Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi,
pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis itu. Bila suatu konsep yang
dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai
pengertian apa-apa bagi kita.[2]
Sebagian penganut pragmatisme yang lain mengatakan bahwa,
suatu ide atau tanggapan dianggap benar, jika ide atau tanggapan tersebut
menghasilkan sesuatu, yakni jalan yang dapat membawa manusia ke arah penyelesaian
masalah secara tepat (berhasil). Seseorang yang ingin membuat hari depan, ia
harus membuat kebenaran, karena masa depan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya
ditentukan oleh masa lalu (Kattsoff, 1992:130).
Segala sesuatu dianggap benar jika ada konsekuensi yang
bersifat manfaat bagi hidup manusia. Sebuah tindakan akan memiliki makna jika
ada konsekuensi praktis atau hasil nyata yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Masa lalu dan masa depan adalah sesuatu yang telah dan belum terjadi.
Sementara itu, masa sekarang adalah fakta, maka hadapilah kenyataan sekarang
dengan penuh perjuangan.
B.
Metafisika Pragmatisme
Filsafat pragmatisme secara umum
dipandang berupaya menengahi pertikaian idealisme dan empirisme serta berupaya
melakukan sintesis antara keduanya. Pragmatisme mendasarkan dirinya pada metode
filsafat yang memakai sebab-sebab praktis dari pikiran serta kepercayaan
sebagai ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenaran. Di sini pandangan William
James tentang pragmatism agaknya mewakili pertanyaan kita tentang pragmatism
tersebut. pragmatisme adalah sikap memandang jauh terhadap benda-benda pertama,
prinsip-prinsip, serta kategori-kategori yang dianggap sangat penting untuk
melihat ke depan pada benda-benda terakhir berdasarkan akibat dan fakta-fakta.
Dalam penjabaran William di atas,
kita bisa mengetahui betapa filsafat pragmatisme selalu menjadi pemikiran
filsafat yang didasarkan pada metode dan pendirian ketimbang pada doktrin
filsafat yang bersifat sistematis. Oleh karena itu, pragmatisme kerap pula
disadari sebagai upaya-upaya penyelidikan eksperimental berdasarkan metode
sains modern. Pengalaman menjadi sesuatu yang begitu fundamental dan begitu
menentukan.[3]
Para pragmatis selalu menolak jika
filsafat mereka dikatakan berlandaskan suatu pemikiran metafisik sebagaimana
metafisika tradisional yang selalu memandang bahwa dalam hidup ini terdapat
sesuatu yang bersifat absolute dan berada di luar jangkauan
pengalaman-pengalaman empiris. Dari itu, bagi mereka seandainya pun realitas
adikodrati memang ada, mereka berasumsi bahwa manusia tidak akan mampu
mengetahui hal itu.
Pemikiran ini menunjukkan bahwa
epistemology pragmatisme sepenuhnya berbasis pendekatan empiris : apa yang bisa
dirasakan itulah yang benar. Artinya, akal, jiwa, dan materi adalah sesuatu hal
yang tidak dapat dipisahkan. Sebab hanya dengan mengalamilah pengetahuan itu
dapat diserap. Pengalaman menjadi parameter ketika sesuatu dapat diterima
kebenarannya. Oleh karena itu, para pragmatis tidak nyaris pernah mendasarkan
satu hal kebenaran. Menurut mereka, pengalaman yang pernah mereka alami akan
berubah jika realitas yang mereka alami pun berubah.
Corak paling kuat dari pragmatism
adalah kuatnya pemikiran tentang konsep kegunaan. Makna kegunaan dalam
pragmatisme lebih ditetapkan pada kebenaran sains, bukan pada hal-hal bersifat
metafisik. Maka, dalam pragmatisme pengetahuan tidak selalu mesti diidentikkan
dengan kepercayaan, tetapi kerap menjadi dua hal yang sama sekali terpisah.
Kebenaran yang mungkin dianggap perlu dipercayai (to believe) bagi para
pragmatis selalu menjadi sesuatu hal bersifat professional atau pribadi dan itu
tidak perlu dikabarkan pada public. Sedangkan, hal-hal yang diangap perlu
diketahui haruslah selalu dikabarkan atau didemonstrasikan pada pengamat yang
qualified dan tak berpihak. Kepercayaan memang ada dalam pengetahuan meski
banyak pula kepercayaan tidak akan ditemukan siapapun di banyak pengetahuan.
Pandangan-pandangan itu semuanya
terangkai oleh konsep kegunaan dan fungsi pragmatis. Oleh karena itu, para
pragmatis kerap mengungkapkan betapa apa yang kita mesti ketahui keraplah bukan
sesuatu yang mesti kita percayai. Dalam sisi yang lain, sebab konsep kegunaan,
apa yang ita percayai tidak selalu menjadi sesuatu hal yang pragmatisme selalu
hadir menjadi relative dan kasuistik. Sebuah kebenaran yang dipandang
benar-benar valid dan berguna, di waktu yang lain bisa menjadi sesuatu hal yang
sama sekali mesti dilupakan.
C. Filsafat Pragmatisme dalam
Pendidikan
Sejak dahulu hingga dewasa ini,
dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu
format pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori
telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari
aliran Filsafat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari
solusi terbaik terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan
dengan perkembangan pola pikir manusia itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan, dunia
pendidikan berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran manusia dengan
solusi tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai puncak temuan. Tekanan
utama pragmatisme dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa subjek didik
bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Setiap subjek didik
tidak lain adalah individu yang mengalami sehingga mereka berkembang, serta
memiliki insiatif dalam mengatasi problem-problem hidup yang mereka miliki.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan
pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda
ketika ia berada di luar sekolah. Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari
sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan untuk
menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda dengan
pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang
menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini
kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa
mereka di dalam beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan yang
berkembang menjadi sarana keberhasilan.[4]
Model pembelajaran pragmatisme
adalah anak belajar di dalam kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok
anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan
terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban masing-masing.
Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Model
pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta
anak dilatih berpikir secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh Power
(Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme
terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal pokok. Ketiga hal pokok
tersebut, yaitu:
1. Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme
adalah memberikan pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan
pribadi.
2. Kedudukan Siswa, kedudukan siswa dalam pendidikan
pragmatisme merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa
dan kompleks untuk tumbuh.
3. Kurikulum, kurikulum pendidikan pragmatis
berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat dan
kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru
menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut.
4. Metode, metode yang digunakan dalam
pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning by doing
(belajar sambil bekerja), serta metode pemecahan masalah (problem solving
method), serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery
method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang
memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan
terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar,
bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat
diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
5. Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan
pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa
mengganggu minat dan kebutuhannya.
Selain hal di atas, pendidikan
pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai
demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang
terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga diberi
kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang
ada. Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan
situasi-situasi sosial yang ada.
Daftar Pustaka
HW. Gandhi, Wangsa Teguh.
2011. Filsafat Pendidikan. Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan.
Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA
Syaripudin, Tatang. 2006. Pengantar
Filsafat Pendidikan. Bandung: Percikan Ilmu
Tafsir, Ahmad. 2010 Cet. Ke-18. Filsafat
Umum. Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. Bandung: Rosda Karya.
http://kukuhsilautama.wordpress.com/2011/03/31/filsafat-pendidikan-pragmatisme/
http://blogger-vhy.blogspot.com/2012/10/makalah-filsafat-pragmatisme.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar