Secara
umum masih banyak masyarakat yang memahami bahwa shodaqoh atau yang sejenisnya
dianggap sebagai ibadah ritual murni yang sebatas hubungan horizontal seorang
hamba dengan sang kholiq seperti halnya sholat dan dzikir, padahal Shodaqoh dan
zakat adalah bentuk ibadah disamping merajut komunikasi dengan sang kholiq juga
ada muatan dimensi sosial yang nilai manfaatnya tidak saja didapat oleh pelaku
ibadah, akan tetapi juga dirasakan oleh orang lain, ini yang tidak banyak orang
memahami.
Sehingga
masih banyak Donatur / muzaki yang masih memilih mendistribusikan sendiri
donasinya langsung kepada mustahik dengan cariti (santunan). Apabila pola
seperti ini masih terus berkelanjutan, maka tujuan shodaqoh dan zakat agar mustahik
atau penerima bantuan ada perubahan dalam kehidupannya masih jauh dari harapan,
karena tidak adanya edukasi bagi penerima bantuan.
Hal
yang sama juga dirasakan oleh mustahik atau penerima bantuan, dikarenakan tidak
adanya edukasi, dan arahan untuk kemandirian kepada mereka, maka secara tidak
langsung menanamkan kepada mereka kenyamanan menggantungkan nasib kepada orang
lain, Banyak orang yang justru merasa bangga jika mendapatkan sumbangan dari
orang lain apa lagi setelah berhitung ternyata hasil akumulasi cukup memuaskan
,atau mendapatkan bantuan untuk keperluan saat itu karena tidak harus repot
bekerja dan sebagainya.
Di
dalam jiwa mereka sudah tertanam semangat untuk selalu minta dikasihani dan
selalu mengharapkan bantuan dari orang lain atau
yang dikenal dengan istilah tangan dibawah. Inilah fenomena yang terjadi dimasyarakat terkait dengan
keberadaan Infaq, shodaqoh dan zakat yang dikeluarkan oleh para donatur dan
muzaki. Insyaallah akan berbeda sekali jika Donasi baik infaq atau zakat
disalurkan melalui Lembaga Zakat syah yang pendistribusiannya lebih
mengedepankan program-program pemberdayaan ekonomi.
Sebenarnya
apabila “benang kusut” fenomena tersebut diurai akar dari permasalahan tersebut
adalah, bukan masalah banyaknya orang yang hidup dibawah garis kemiskinan yang
terkesan semakin hari semakin tambah, akan
tetapi seberapa tinggi jiwa dan semangat mereka untuk bisa bangkit dari
kemiskinan.
Sementara
disisi lain, dalam diri kaum muslimin ada potensi besar yang bisa diakses untuk
perbaikan kehidupan dari sisi ekonomi yakni potensi zakat, infaq dan shadaqah
kaum muslimin. Melihat mayoritas penduduk Indonesia adalah ummat islam, maka
potensi zakat dan infaq sangatlah besar, lebih dari cukup untuk mengentaskan kemiskinan
yang ada di Indonesia jika semua umat muslim yang mampu mengeluarkan zakatnya.
Ini
menjadi tantangan Lembaga Zakat untuk terus berkreasi dalam rangka untuk bisa mengakses dana zakat
yang sebenarnya sudah menjadi kewajiban orang muslim yang mampu, juga kreasi
program pemberdayaan. Inilah bentuk
ibadah yang ada muatan dimensi sosial yang sepintas seakan normatif dan
biasa-biasa saja, namun apa bila dikelola dengan professional akan membuahkan
hasil yang besar, mengentaskan kemiskinan. Seperti yang pernah terjadi dan
sejarah telah memberikan pelajaran
terbaik bagi kita semua.
Yaitu
ketika masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, telah terwujud kondisi masyarakat
yang sangat ideal, kesejahteraan telah tercukupi, kemapanan kaum muslimin saat
itu sangat terjamin. Semua itu hasil dari optimalisasi pengelolaan dana ummat
dengan penuh amanah dan pengelolaan yang baik untuk kesejahteraan kaum muslimin.
Dari
sini terlihat jelas bahwa manfaat Shadaqoh dan zakat tidak saja akan didapat
oleh donatur / muzaki, namun juga dirasakan oleh orang lain khususnya kalangan
kurang mampu. Kalau kita perhatikan, secara umum taraf hidup masyarakat
berangsur-angsur semakin baik dibandingkan sebelumnya terkait dengan sadar
zakat dan shodaqoh. Ini bisa kita lihat diantaranya adalah adanya peningkatan
jumlah donatur atau muzaki yang menyampaikan donasinya.
Dibeberapa
Lembaga ada peningkatan donasi yang terhimpun, masjid mushola banyak yang
direhab karena adanya kas yang cukup, sering kita jumpai dari komunitas muslim
sebuah perusahaan atau instansi lainnya seperti Majlis ta’lim mengadakan baksos
atau kegiatan santunan yang sifatnya karikatif dari dana infaq / shodaqoh yang
terkumpul. Namun dalam kenyataannya golongan dhu’afa dan fakir miskin yang
senantiasa menengadahkan tangannya untuk mengharap belas kasihan dari orang
lain masih tetap menjamur.
Memperhatikan
fenomena ini bisa dilihat dari dua sisi, yang pertama dari sisi sosial,
tidak ada yang salah ketika donatur langsung menyampaikan donasinya kepada
mustahik, tidak melalui Lembaga, namun nilai manfaatnya sangat sedikit yang
didapat, apaladi bicara pemberdayaan masih jauh dari yang diharap, oleh
karenanya biarpun jumlah donatur meningkat akan tetapi tidak mengurangi angka
kemiskinan. Dan yang kedua dari sisi spiritual, tidak berlebihan kalau
dikatakan ini adalah bagian dari scenario Allah SWT.
Adanya
kaum dhu’afa dan fakir miskin adalah bagian dari penyempurnaan ibadah orang
lain. Jangankan kita sebagai muslim, Seperti yang kita ketahui dalam setiap agama pasti
mengajarkan beramal atau memberikan sebagian rezeki kita kepada orang yang
membutuhkan. Logika sederhana jika tidak ada orang miskin kepada siapa orang
mampu akan menyalurkan sebagian rezekinya.
Tentu saja orang miskin harus ada di
muka bumi. Ini adalah sunatullah, dan sekaligus menjadi ajang saling membutuhkan
antar sesama sehingga dengan sendirinya tercipta Ta’awun (saling
membantu) dan saling memerlukan satu sama lain itulah kehidupan. Akan tetapi
bagaimanapun kita berkewajiban untuk terus memaksimalkan ikhtiyar agar donasi
yang terkumpul bisa didistribusikan kearah pemberdayaan, terlepas bahwa sampai
kapanpun kaum dhu’afa akan selalu ada, Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar