Senin, 23 Februari 2015

Shodaqah Menyuburkan Tangan Dibawah



Secara umum masih banyak masyarakat yang memahami bahwa shodaqoh atau yang sejenisnya dianggap sebagai ibadah ritual murni yang sebatas hubungan horizontal seorang hamba dengan sang kholiq seperti halnya sholat dan dzikir, padahal Shodaqoh dan zakat adalah bentuk ibadah disamping merajut komunikasi dengan sang kholiq juga ada muatan dimensi sosial yang nilai manfaatnya tidak saja didapat oleh pelaku ibadah, akan tetapi juga dirasakan oleh orang lain, ini yang tidak banyak orang memahami. 

Sehingga masih banyak Donatur / muzaki yang masih memilih mendistribusikan sendiri donasinya langsung kepada mustahik dengan cariti (santunan). Apabila pola seperti ini masih terus berkelanjutan, maka tujuan shodaqoh dan zakat agar mustahik atau penerima bantuan ada perubahan dalam kehidupannya masih jauh dari harapan, karena tidak adanya edukasi bagi penerima bantuan. 

Hal yang sama juga dirasakan oleh mustahik atau penerima bantuan, dikarenakan tidak adanya edukasi, dan arahan untuk kemandirian kepada mereka, maka secara tidak langsung menanamkan kepada mereka kenyamanan menggantungkan nasib kepada orang lain, Banyak orang yang justru merasa bangga jika mendapatkan sumbangan dari orang lain apa lagi setelah berhitung ternyata hasil akumulasi cukup memuaskan ,atau mendapatkan bantuan untuk keperluan saat itu karena tidak harus repot bekerja dan sebagainya. 

Di dalam jiwa mereka sudah tertanam semangat untuk selalu minta dikasihani dan selalu mengharapkan bantuan dari orang lain atau yang dikenal dengan istilah tangan dibawah. Inilah fenomena  yang terjadi dimasyarakat terkait dengan keberadaan Infaq, shodaqoh dan zakat yang dikeluarkan oleh para donatur dan muzaki. Insyaallah akan berbeda sekali jika Donasi baik infaq atau zakat disalurkan melalui Lembaga Zakat syah yang pendistribusiannya lebih mengedepankan program-program pemberdayaan ekonomi.

Sebenarnya apabila “benang kusut” fenomena tersebut diurai akar dari permasalahan tersebut adalah, bukan masalah banyaknya orang yang hidup dibawah garis kemiskinan yang terkesan semakin hari semakin tambah, akan  tetapi seberapa tinggi jiwa dan semangat mereka untuk bisa bangkit dari kemiskinan.
Sementara disisi lain, dalam diri kaum muslimin ada potensi besar yang bisa diakses untuk perbaikan kehidupan dari sisi ekonomi yakni potensi zakat, infaq dan shadaqah kaum muslimin. Melihat mayoritas penduduk Indonesia adalah ummat islam, maka potensi zakat dan infaq sangatlah besar,  lebih dari cukup untuk mengentaskan kemiskinan yang ada di Indonesia jika semua umat muslim yang mampu mengeluarkan zakatnya. 

Ini menjadi tantangan Lembaga Zakat untuk terus berkreasi  dalam rangka untuk bisa mengakses dana zakat yang sebenarnya sudah menjadi kewajiban orang muslim yang mampu, juga kreasi program pemberdayaan.  Inilah bentuk ibadah yang ada muatan dimensi sosial yang sepintas seakan normatif dan biasa-biasa saja, namun apa bila dikelola dengan professional akan membuahkan hasil yang besar, mengentaskan kemiskinan. Seperti yang pernah terjadi dan sejarah  telah memberikan pelajaran terbaik bagi kita semua. 

Yaitu ketika masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, telah terwujud kondisi masyarakat yang sangat ideal, kesejahteraan telah tercukupi, kemapanan kaum muslimin saat itu sangat terjamin. Semua itu hasil dari optimalisasi pengelolaan dana ummat dengan penuh amanah dan pengelolaan yang baik untuk kesejahteraan kaum muslimin.

Dari sini terlihat jelas bahwa manfaat Shadaqoh dan zakat tidak saja akan didapat oleh donatur / muzaki, namun juga dirasakan oleh orang lain khususnya kalangan kurang mampu. Kalau kita perhatikan, secara umum taraf hidup masyarakat berangsur-angsur semakin baik dibandingkan sebelumnya terkait dengan sadar zakat dan shodaqoh. Ini bisa kita lihat diantaranya adalah adanya peningkatan jumlah donatur atau muzaki yang menyampaikan donasinya. 

Dibeberapa Lembaga ada peningkatan donasi yang terhimpun, masjid mushola banyak yang direhab karena adanya kas yang cukup, sering kita jumpai dari komunitas muslim sebuah perusahaan atau instansi lainnya seperti Majlis ta’lim mengadakan baksos atau kegiatan santunan yang sifatnya karikatif dari dana infaq / shodaqoh yang terkumpul. Namun dalam kenyataannya golongan dhu’afa dan fakir miskin yang senantiasa menengadahkan tangannya untuk mengharap belas kasihan dari orang lain masih tetap menjamur.

Memperhatikan fenomena ini bisa dilihat dari dua sisi, yang pertama dari sisi sosial, tidak ada yang salah ketika donatur langsung menyampaikan donasinya kepada mustahik, tidak melalui Lembaga, namun nilai manfaatnya sangat sedikit yang didapat, apaladi bicara pemberdayaan masih jauh dari yang diharap, oleh karenanya biarpun jumlah donatur meningkat akan tetapi tidak mengurangi angka kemiskinan. Dan yang kedua dari sisi spiritual, tidak berlebihan kalau dikatakan ini adalah bagian dari scenario Allah SWT. 

Adanya kaum dhu’afa dan fakir miskin adalah bagian dari penyempurnaan ibadah orang lain. Jangankan kita sebagai muslim, Seperti yang kita ketahui dalam setiap agama pasti mengajarkan beramal atau memberikan sebagian rezeki kita kepada orang yang membutuhkan. Logika sederhana jika tidak ada orang miskin kepada siapa orang mampu akan menyalurkan sebagian rezekinya. 

Tentu saja orang miskin harus ada di muka bumi. Ini adalah sunatullah, dan sekaligus menjadi ajang saling membutuhkan antar sesama sehingga dengan sendirinya tercipta Ta’awun (saling membantu) dan saling memerlukan satu sama lain itulah kehidupan. Akan tetapi bagaimanapun kita berkewajiban untuk terus memaksimalkan ikhtiyar agar donasi yang terkumpul bisa didistribusikan kearah pemberdayaan, terlepas bahwa sampai kapanpun kaum dhu’afa akan selalu ada, Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar